Berikut ini beberapa puisi yang menggunakan kata “warna” yaitu sebagai berikut:
Puisi Chairil Anwar: SAJAK PUTIH
Bersandar pada tari warna
pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa
tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah…
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah…
DENGAN MIRAT Karya Chairil Anwar
Kamar ini jadi sarang penghabisan
di malam yang hilang batas
Aku dan engkau hanya menjengkau
rakit hitam
'Kan terdamparkah
atau terserah
pada putaran hitam?
Matamu ungu membatu
Masih berdekapankah kami atau
mengikut juga bayangan itu
Kamar ini jadi sarang penghabisan
di malam yang hilang batas
Aku dan engkau hanya menjengkau
rakit hitam
'Kan terdamparkah
atau terserah
pada putaran hitam?
Matamu ungu membatu
Masih berdekapankah kami atau
mengikut juga bayangan itu
Gerilya Karya WS Rendra
Tubuh biru
Tatapan mata biru
Lelaki terguling di jalan
Angin bergantung
Terkecap pahitnya tembakau
Bendungan keluh dan bencana.
Tubuh biru
Tatapan mata biru
Lelaki terguling di jalan.
Dengan tujuh lobang pelor
Diketuk gerbang di langit
Dan menyala mentari kuda
Melepas kesumatnya:
Gadis berjalan disubuh merah
Dengan sayur-mayur di punggung
Melihatnya yang pertama.
Dan duka daun wortel.
Tubuh biru
Tatapan mata biru
Lelaki terguling di jalan.
Orang-orang kampung mengenalnya
Anak janda berambut ombak
Ditimba air bergantang-gantang
Disiram atas tubuhnya.
Tubuh biru
Tatapan mata biru
Lelaki terguling di jalan.
Leewat gardu Belanda dengan berani
Berlindung warna malam
Sendiri masuk kota
Ingin ikut ngubur ibunya.
Tubuh biru
Tatapan mata biru
Lelaki terguling di jalan
Angin bergantung
Terkecap pahitnya tembakau
Bendungan keluh dan bencana.
Tubuh biru
Tatapan mata biru
Lelaki terguling di jalan.
Dengan tujuh lobang pelor
Diketuk gerbang di langit
Dan menyala mentari kuda
Melepas kesumatnya:
Gadis berjalan disubuh merah
Dengan sayur-mayur di punggung
Melihatnya yang pertama.
Dan duka daun wortel.
Tubuh biru
Tatapan mata biru
Lelaki terguling di jalan.
Orang-orang kampung mengenalnya
Anak janda berambut ombak
Ditimba air bergantang-gantang
Disiram atas tubuhnya.
Tubuh biru
Tatapan mata biru
Lelaki terguling di jalan.
Leewat gardu Belanda dengan berani
Berlindung warna malam
Sendiri masuk kota
Ingin ikut ngubur ibunya.
Puisi
Anak Laut karya Asrul Sani
Sekali ia pergi tiada bertopi
Ke pantai landasan matahari
Dan bermimpi tengah hari
Akan negeri di jauhan
Ke pantai landasan matahari
Dan bermimpi tengah hari
Akan negeri di jauhan
Pair dan air seakan
bercampur awan
tiada menutup
mata dan hatinya rindu
melihat laut terbentang biru
bercampur awan
tiada menutup
mata dan hatinya rindu
melihat laut terbentang biru
“Sekali aku pergi
dengan perahu
ke negeri jauhan
dan menyanyi
kekasih hati
lagu merindukan
daku”
dengan perahu
ke negeri jauhan
dan menyanyi
kekasih hati
lagu merindukan
daku”
“Tenggelam matahari
Ufuk sana tiada nyata
bayang-bayang bergerak perlahan
aku kembali kepadaNya”
Ufuk sana tiada nyata
bayang-bayang bergerak perlahan
aku kembali kepadaNya”
Sekali ia pergi tiada bertopi
Ke pantai landasan matahari
Dan bermimpi tengah hari
Akan negeri di jauhan
Ke pantai landasan matahari
Dan bermimpi tengah hari
Akan negeri di jauhan
SAJAK MATAHARI : WS Rendra
Matahari bangkit dari sanubariku.
Menyentuh permukaan samodra raya.
Matahari keluar dari mulutku,
menjadi pelangi di cakrawala.
Wajahmu keluar dari jidatku,
wahai kamu, wanita miskin !
kakimu terbenam di dalam lumpur.
Kamu harapkan beras seperempat gantang,
dan di tengah sawah tuan tanah menanammu !
Satu juta lelaki gundul
keluar dari hutan belantara,
tubuh mereka terbalut lumpur
dan kepala mereka berkilatan
memantulkan cahaya matahari.
Mata mereka menyala
tubuh mereka menjadi bara
dan mereka membakar dunia.
Matahari adalah cakra jingga
yang dilepas tangan Sang Krishna.
Ia menjadi rahmat dan kutukanmu,
ya, umat manusia !
Menyentuh permukaan samodra raya.
Matahari keluar dari mulutku,
menjadi pelangi di cakrawala.
Wajahmu keluar dari jidatku,
wahai kamu, wanita miskin !
kakimu terbenam di dalam lumpur.
Kamu harapkan beras seperempat gantang,
dan di tengah sawah tuan tanah menanammu !
Satu juta lelaki gundul
keluar dari hutan belantara,
tubuh mereka terbalut lumpur
dan kepala mereka berkilatan
memantulkan cahaya matahari.
Mata mereka menyala
tubuh mereka menjadi bara
dan mereka membakar dunia.
Matahari adalah cakra jingga
yang dilepas tangan Sang Krishna.
Ia menjadi rahmat dan kutukanmu,
ya, umat manusia !
SAJAK SUBUH
Oleh : Sapardi Djoko Damono
Waktu mereka membakar gubuknya awal subuh itu ia baru saja bermimpi tentang mata air. Mereka berteriak, “Jangan bermimpi!” dan ia terkejut tak mengerti.
Sejak di kota itu ia tak pernah sempat bermimpi. Ia ingin sekali melihat kembali warna hijau dan mata air, tetapi ketika untuk pertama kalinya. Ia bermimpi subuh itu, mereka membakar tempat tinggalnya.
“Jangan bermimpi!” gertak mereka.
Suara itu terpantul di bawah jembatan dan tebing-tebing sungai. Api menyulut udara lembar demi lembar, lalu meresap ke pori-pori kulitnya. Ia tak memahami perintah itu dan mereka memukulnya, “Jangan bermimpi! ”
Ia rubuh dan kembali bermimpi tentang mata air dan …..
Oleh : Sapardi Djoko Damono
Waktu mereka membakar gubuknya awal subuh itu ia baru saja bermimpi tentang mata air. Mereka berteriak, “Jangan bermimpi!” dan ia terkejut tak mengerti.
Sejak di kota itu ia tak pernah sempat bermimpi. Ia ingin sekali melihat kembali warna hijau dan mata air, tetapi ketika untuk pertama kalinya. Ia bermimpi subuh itu, mereka membakar tempat tinggalnya.
“Jangan bermimpi!” gertak mereka.
Suara itu terpantul di bawah jembatan dan tebing-tebing sungai. Api menyulut udara lembar demi lembar, lalu meresap ke pori-pori kulitnya. Ia tak memahami perintah itu dan mereka memukulnya, “Jangan bermimpi! ”
Ia rubuh dan kembali bermimpi tentang mata air dan …..
Panji di Hadapanku
Karya Amir Hamzah
Kau kibarkan panji di hadapanku.
Hijau jernih diampu tongkat mutu-mutiara.
Di kananku berjalan, mengiring perlahan, ridlamu rata, dua sebaya, putih-putih, penuh melimpah, kasih persih.
Gelap-gelap kami berempat, menunggu-nunggu, mendengar-dengar suara sayang, panggilan-panjang, jauh-teratuh, melayang-layang.
Gelap-gelap kami berempat, meminta-minta, memohon-mohon, moga terbuka selimut kabut, pembungkus halus nokta utama.
Jika nokta terduka-raya
Jika kabut tersingkap semua
Cahaya ridla mengilau ke dalam
Nur rindu memancar keluar
Elang Laut
Karya Asrul Sani
Ada elang laut terbang
Senja hari
Antara jingga dan merah
Surya hendak turun,
Pergi ke sarangnya.
Apakah iya tahu juga,
Bahwa panggilan cinta
Tiada ditahan kabut
Yang menguap dipagi hari?
Bunyinya menguak suram
Lambat – lambat
Mendekat, ke atas runyam
Karang putih,
Makin nyata
Sekali ini jamu dan keringat
Tiada akan punya daya
Tapi topan tiada mau
Dan menghembus ke alam luas.
Jatuh elang laut
Ke air biru, tenggelam
Dan tiada timbul lagi.
Rumahnya di gunung kelabu
Akan terus sunyi,
Satu – satu akan jatuh membangkai
Ke bumi, bayi – bayi kecil tiada
Bersuara.
Ada elang laut terbang
Senja hari
Antara jingga dan merah
Surya hendak turun,
Pergi ke sarangnya.
Apakah iya tahu juga,
Bahwa panggilan cinta
Tiada ditahan kabut
Yang menguap dipagi hari?
Bunyinya menguak suram
Lambat – lambat
Mendekat, ke atas runyam
Karang putih,
Makin nyata
Sekali ini jamu dan keringat
Tiada akan punya daya
Tapi topan tiada mau
Dan menghembus ke alam luas.
Jatuh elang laut
Ke air biru, tenggelam
Dan tiada timbul lagi.
Rumahnya di gunung kelabu
Akan terus sunyi,
Satu – satu akan jatuh membangkai
Ke bumi, bayi – bayi kecil tiada
Bersuara.
Sajak Kembara karya Abdul Wahid BS
Jika pergi ke Cirebon
Pastilah lewat Losari
Jika wajah merah jambon
Pastilah tertambat puteri
Gadisku
Hidup apa kau janjikan
Hidup siapa kuberikan
Kita tak paham pada pemahaman
Kita jath cinta pada garis tangan
Pernah kau berkata
Perempuan bisa bohong sebab cinta
Tapi jadi realita
Pria bohong sebab bisa cinta
Cinta kepada ibu jadi abadi
Cinta kepada anak tak mau berbagi
Cinta kepadamu
Kenapa menyergap berkali-kali?
Kembang kamboja jatuh di rambutmu
Aku ngungun jatuh di pelukanmu
Tapi inikah jatuh yang justru bangun?
Kembara berhenti di pinggir kali
Kali kecil tanah Losari
Berkaca ia di cermin kali
Gadisku, ia berhenti tak cuma numpang mandi
Jika pergi ke Cirebon
Pastilah lewat Losari
Jika wajah merah jambon
Pastilah tertambat puteri
Gadisku
Hidup apa kau janjikan
Hidup siapa kuberikan
Kita tak paham pada pemahaman
Kita jath cinta pada garis tangan
Pernah kau berkata
Perempuan bisa bohong sebab cinta
Tapi jadi realita
Pria bohong sebab bisa cinta
Cinta kepada ibu jadi abadi
Cinta kepada anak tak mau berbagi
Cinta kepadamu
Kenapa menyergap berkali-kali?
Kembang kamboja jatuh di rambutmu
Aku ngungun jatuh di pelukanmu
Tapi inikah jatuh yang justru bangun?
Kembara berhenti di pinggir kali
Kali kecil tanah Losari
Berkaca ia di cermin kali
Gadisku, ia berhenti tak cuma numpang mandi
Aung San Suu Kyi Karya Goenawan Muhammad
Seseorang akan bebas dan akan selalu
sehijau kemarau
Seseorang akan bebas dan sehitam asam
musim hujan
Seseorang akan bebas dan akan lari
atau letih
Dan langit akan sedikit dan bintang
beralih
Dan antara tiang tujuh bendera dan pucuk pucat
pagoda
Seseorang akan bebas dan sorga akan
tak ada
Tapi barangkali seseorang akan bebas dan memandangi
tandan yang terjulai
tandan di pohon saputangan, tandan di tebing jalan
ke Mandalay
IBU
Karya D Zawawi Imron
Ibu,
Jika aku merantau lalu datang musim kemarau
Sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting
Hanya mataair airmatamu ibu, yang tetap lancar mengalir
Bila aku merantau
Sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku
Di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan
lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar
Ibu adalah gua pertapaanku
Dan ibulah yang meletakkan aku di sini
Saat bunga kembang menyemerbak bau sayang
Ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi
Aku mengangguk meskipun kurang mengerti
Bila kasihmu ibarat samudera
Sempit lautan teduh
Tempatku mandi, mencuci lumut pada diri
Tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh
Lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku
Ibu,
Jika aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan
Maka namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu
Lantaran aku tahu
Engkau ibuku dan aku anakmu
Bila aku berlayar lalu datang angin sakal
Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal
Ibulah itu
Bidadari yang berselendang bianglala
Sesekali datang padaku
Menyuruhku menulis langit biru
Dengan sajakku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar