Rabu, 21 November 2012

Berikut ini Puisi yang menggunakan kata Warna

Berikut ini beberapa puisi yang menggunakan kata “warna” yaitu sebagai berikut:
Puisi Chairil Anwar: SAJAK PUTIH
Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah…
DENGAN MIRAT Karya Chairil Anwar

Kamar ini jadi sarang penghabisan
di malam yang hilang batas

Aku dan engkau hanya menjengkau
rakit hitam

'Kan terdamparkah
atau terserah
pada putaran hitam?

Matamu ungu membatu

Masih berdekapankah kami atau
mengikut juga bayangan itu




Gerilya Karya WS Rendra

Tubuh biru

Tatapan mata biru

Lelaki terguling di jalan

Angin bergantung

Terkecap pahitnya tembakau

Bendungan keluh dan bencana.

Tubuh biru

Tatapan mata biru

Lelaki terguling di jalan.

Dengan tujuh lobang pelor

Diketuk gerbang di langit

Dan menyala mentari kuda

Melepas kesumatnya:

Gadis berjalan disubuh merah

Dengan sayur-mayur di punggung

Melihatnya yang pertama.

Dan duka daun wortel.

Tubuh biru

Tatapan mata biru

Lelaki terguling di jalan.

Orang-orang kampung mengenalnya

Anak janda berambut ombak

Ditimba air bergantang-gantang

Disiram atas tubuhnya.

Tubuh biru

Tatapan mata biru

Lelaki terguling di jalan.

Leewat gardu Belanda dengan berani

Berlindung warna malam

Sendiri masuk kota

Ingin ikut ngubur ibunya.
                                 
Puisi Anak Laut karya Asrul Sani
Sekali ia pergi tiada bertopi
Ke pantai landasan matahari
Dan bermimpi tengah hari
Akan negeri di jauhan
Pair dan air seakan
bercampur awan
tiada menutup
mata dan hatinya rindu
melihat laut terbentang biru
“Sekali aku pergi
dengan perahu
ke negeri jauhan
dan menyanyi
kekasih hati
lagu merindukan
daku”
“Tenggelam matahari
Ufuk sana tiada nyata
bayang-bayang bergerak perlahan
aku kembali kepadaNya”
Sekali ia pergi tiada bertopi
Ke pantai landasan matahari
Dan bermimpi tengah hari
Akan negeri di jauhan
SAJAK MATAHARI : WS Rendra

Matahari bangkit dari sanubariku.
Menyentuh permukaan samodra raya.
Matahari keluar dari mulutku,
menjadi pelangi di cakrawala.

Wajahmu keluar dari jidatku,
wahai kamu, wanita miskin !
kakimu terbenam di dalam lumpur.
Kamu harapkan beras seperempat gantang,
dan di tengah sawah tuan tanah menanammu !

Satu juta lelaki gundul
keluar dari hutan belantara,
tubuh mereka terbalut lumpur
dan kepala mereka berkilatan
memantulkan cahaya matahari.
Mata mereka menyala
tubuh mereka menjadi bara
dan mereka membakar dunia.

Matahari adalah cakra jingga
yang dilepas tangan Sang Krishna.
Ia menjadi rahmat dan kutukanmu,
ya, umat manusia !

SAJAK SUBUH
Oleh : Sapardi Djoko Damono

Waktu mereka membakar gubuknya awal subuh itu ia baru saja bermimpi tentang mata air. Mereka berteriak, “Jangan bermimpi!” dan ia terkejut tak mengerti.
Sejak di kota itu ia tak pernah sempat bermimpi. Ia ingin sekali melihat kembali warna hijau dan mata air, tetapi ketika untuk pertama kalinya. Ia bermimpi subuh itu, mereka membakar tempat tinggalnya.
“Jangan bermimpi!” gertak mereka.
Suara itu terpantul di bawah jembatan dan tebing-tebing sungai. Api menyulut udara lembar demi lembar, lalu meresap ke pori-pori kulitnya. Ia tak memahami perintah itu dan mereka memukulnya, “Jangan bermimpi! ”
Ia rubuh dan kembali bermimpi tentang mata air dan …..

Panji di Hadapanku
Karya Amir Hamzah

Kau kibarkan panji di hadapanku.
Hijau jernih diampu tongkat mutu-mutiara.
Di kananku berjalan, mengiring perlahan, ridlamu rata, dua sebaya, putih-putih, penuh melimpah, kasih persih.
Gelap-gelap kami berempat, menunggu-nunggu, mendengar-dengar suara sayang, panggilan-panjang, jauh-teratuh, melayang-layang.
Gelap-gelap kami berempat, meminta-minta, memohon-mohon, moga terbuka selimut kabut, pembungkus halus nokta utama.
Jika nokta terduka-raya
Jika kabut tersingkap semua
Cahaya ridla mengilau ke dalam
Nur rindu memancar keluar

Elang Laut
Karya Asrul Sani

Ada elang laut terbang

Senja hari

Antara jingga dan merah

Surya hendak turun,

Pergi ke sarangnya.

Apakah iya tahu juga,

Bahwa panggilan cinta

Tiada ditahan kabut

Yang menguap dipagi hari?

Bunyinya menguak suram

Lambat – lambat

Mendekat, ke atas runyam

Karang putih,

Makin nyata

Sekali ini jamu dan keringat

Tiada akan punya daya

Tapi topan tiada mau

Dan menghembus ke alam luas.

Jatuh elang laut

Ke air biru, tenggelam

Dan tiada timbul lagi.

Rumahnya di gunung kelabu

Akan terus sunyi,

Satu – satu akan jatuh membangkai

Ke bumi, bayi – bayi kecil tiada

Bersuara.

Sajak Kembara karya Abdul Wahid BS

Jika pergi ke Cirebon
Pastilah lewat Losari
Jika wajah merah jambon
Pastilah tertambat puteri

Gadisku

Hidup apa kau janjikan
Hidup siapa kuberikan
Kita tak paham pada pemahaman
Kita jath cinta pada garis tangan

Pernah kau berkata
Perempuan bisa bohong sebab cinta
Tapi jadi realita
Pria bohong sebab bisa cinta

Cinta kepada ibu jadi abadi
Cinta kepada anak tak mau berbagi
Cinta kepadamu
Kenapa menyergap berkali-kali?

Kembang kamboja jatuh di rambutmu
Aku ngungun jatuh di pelukanmu
Tapi inikah jatuh yang justru bangun?

Kembara berhenti di pinggir kali
Kali kecil tanah Losari
Berkaca ia di cermin kali
Gadisku, ia berhenti tak cuma numpang mandi

Aung San Suu Kyi Karya Goenawan Muhammad

Seseorang akan bebas dan akan selalu
sehijau kemarau
Seseorang akan bebas dan sehitam asam
musim hujan
Seseorang akan bebas dan akan lari
atau letih
Dan langit akan sedikit dan bintang
beralih
Dan antara tiang tujuh bendera dan pucuk pucat
pagoda
Seseorang akan bebas dan sorga akan
tak ada
Tapi barangkali seseorang akan bebas dan memandangi
tandan yang terjulai
tandan di pohon saputangan, tandan di tebing jalan
ke Mandalay

IBU
Karya D Zawawi Imron

Ibu,
Jika aku merantau lalu datang musim kemarau
Sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting
Hanya mataair airmatamu ibu, yang tetap lancar mengalir

Bila aku merantau
Sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku
Di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan
lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar

Ibu adalah gua pertapaanku
Dan ibulah yang meletakkan aku di sini
Saat bunga kembang menyemerbak bau sayang
Ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi
Aku mengangguk meskipun kurang mengerti

Bila kasihmu ibarat samudera
Sempit lautan teduh
Tempatku mandi, mencuci lumut pada diri
Tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh
Lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku

Ibu,
Jika aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan
Maka namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu
Lantaran aku tahu
Engkau ibuku dan aku anakmu

Bila aku berlayar lalu datang angin sakal
Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal

Ibulah itu
Bidadari yang berselendang bianglala
Sesekali datang padaku
Menyuruhku menulis langit biru
Dengan sajakku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar